Pagi ini saya dan beberapa teman mengunjungi Hutan
Turgo di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Letaknya ada di dusun Tritis,
Purwobinangun, sekitar 6 km dari puncak Merapi. Ini adalah perjalanan kelima
saya ke sana. Empat kunjungan sebelumnya dilakukan setahun kemarin, juga dengan
teman-teman yang sama, bedanya kali ini kami hanya berenam.
Masih sama dengan
kunjungan-kunjungan terdahulu, maksud dari jalan-jalan kami hari ini adalah
untuk melihat Anggrek dan kondisi habitatnya setelah 1,5 tahun erupsi Merapi
berlalu.
Pada kunjungan pertama tahun lalu, hanya berselang 3 bulan usai erupsi
Merapi, kami mendapati beberapa bagian dari Hutan Turgo yang rusak. Saat itu
pohon dan dahan tumbang berserakan di beberapa lokasi. Turut bersamanya
Anggrek-anggrek pun ikut merana. Sebagian tertindih di batang pohon yang tumbang.
Sebagian berserakan di antara semak. Ada juga yang tertimbun tanah bercampur debu
vulkanik dan pasir Merapi yang tampak tebal saat itu. (Cerita lengkapnya sudah
saya tulis di blog kompasiana setahun kemarin).
Meski kondisi pasca
erupsi Merapi belum sepenuhnya pulih, saat itu kami masih menjumpai beberapa
spesies Anggrek yang “selamat” bahkan berbunga dengan indahnya di sana. Dan di
antara semua Anggrek yang ditemukan saat itu, ada beberapa Anggrek “favorit” saya
seperti Coelogyne speciosa dan Dendrobium mutabile.
Usai mandi pagi saya
segera menyiapkan beberapa bawaan yang diperlukan dalam perjalanan ini, beberapa
di antaranya slayer merah, sarung tangan biru, air minum, agar-agar jeli, air
minum dan tak ketinggalan kamera.
Sampai di basecamp BiOSC ternyata saya menjadi
yang pertama datang. Tak ingin lapar menunggu saya bergegas mencari sarapan dan
akhirnya semangkuk soto ayam menjadi bekal perut.
Kembali ke BiOSC
beberapa orang telah datang dan tak lama kemudian kami pun berangkat.
Perjalanan pertama sekitar 45 menit kami lalui di atas jalanan aspal beserta
ratusan kendaraan yang lalu lalang dan salip menyalip.
Pukul 9.00 kami tiba
di dusun Tritis. Dari rumah seorang warga kami mulai berjalan kaki menuju Hutan
Turgo. Meski sudah berkali-kali ke sana, rasa berat melangkah masih saja saya
rasakan. Apalagi belumlah mencapai “pintu” hutan, jalanan menanjak sudah
menyambut kami. Namun rasa berat di kaki tersebut hanya berlangsung sesaat,
mungkin karna tak sempat melakukan pemanasan terlebih dahulu.
Usai melewati jalanan
menanjak, kami melalui jalan setapak dengan pemandangan ladang sayuran di kiri
dan kanan, panjangnya tak lebih dari setengah kilometer.
Kami tiba di pintu
hutan. Jalan berbatu menjadi rute kami berikutnya. Meski tak terlalu menanjak,
namun batu-batu beragam ukuran yang berserakan membuat langkah kami juga tak mudah. Sepanjang jalan kami tak hanya melewati rute yang sudah ada.
Beberapa kali kami berbelok ke samping, turun ke bawah hingga menerobos semak untuk
mencari Anggrek sekalian melihat kondisi habitat yang sebelumnya belum pernah
kami jumpai.
Lantai hutan yang lembab dengan banyak seresah menjadi alas kaki kami. Semuanya dipadu padan
dengan bebatuan basah dan berlumut di sisi sepanjang sisi kami berjalan. Tak
ketinggalan semak dan pohon-pohon bambu berukuran besar membuat langit di atas
kami terasa teduh.
Sekarang kami kembali
naik ke rute awal. Namun tak lama kemudian kami kembali berbelok ke sisi kiri,
kembali menembus semak mencoba menemukan jalur baru yang mungkin akan membawa
kami pada habitat Anggrek yang lain. Dan ternyata benar, beberapa spesies
Anggrek kami jumpai di beberapa pohon sepanjang jalan. Beruntung sekali
salah satunya adalah Dendrobium mutabile
yang sedang berbunga, tak cuma satu namun banyak.
Setengah jam di
lokasi ini, kami memutuskan kembali ke jalur utama. Namun tak mudah, kami harus
menembus semak di atas tanah yang tak rata. Lepas dari jalan
penuh semak kami menjumpai bagian hutan yang lantainya dipenuhi banyak herba
yang sedang mekar bunganya.
Satu setengah jam
berlalu kami sampai di bagian hutan yang didominasi oleh pohon bambu berukuran
kecil yang tumbuh rapat satu sama lain. Beberapa pohon bambu saling condong berhadapan
hingga membentuk “lorong” di atas jalur yang kami lalui. Sepanjang perjalanan kami
kembali menjumpai Dendrobium mutabile
mekar di ketinggian. Tak cuma sekali dua kali, namun beberapa kali di banyak
tempat kami menjumpai anggrek itu show
off dengan cantiknya. Meski untuk menjangkaunya bukan hal yang mudah.
Lepas dari hutan
bambu kami sampai di bagian hutan yang didominasi pohon berukuran besar nan tinggi.
Di sekitarnya semak-semak setinggi pinggang menemani. Di tempat ini dulu kami
menjumpai banyak Anggrek yang jatuh dan berserakan di antara batang dan semak. Semuanya
tersingkap karena beberapa pohon dan semak mati akibat erupsi Merapi. Namun
hari ini tempat itu sudah kembali lebat. Saat memutuskan menjelajah saya tak
lagi melihat tanah di bawah. Yang ada hanya semaki yang rapat. Di bawahnya
entah ada apa saja. Mungkin saja ada sebagian Anggrek yang akhirnya tak sengaja
saya injak. Dan memaksa berjalan di tempat ini pada akhirnya membuat saya
terpeleset saat menginjak tumpukan ranting basah yang tersembunyai di lantai
hutan.
Mendekati tengah hari
kabut turun. Langit di atas juga perlahan mendung. Kami pun mau tak mau memutuskan
turun.
Air akhirnya turun
tak terbendung. Mendung berganti hujan. Kami pun terpaksa mengakhiri istirahat
dan segera berjalan turun ke bawah. Hujan makin deras, jas hujan saya yang
sobek di belakang pada akhirnya tak sempurna melindungi badan dari kuyup. Saya
berlari untuk segara sampai di bawah.
Lewat tengah hari
kami semua sudah berkumpul lagi di bawah. Di rumah warga tempat kami memulai
perjalanan tadi. Kondisi kami ?. Basah. Badan kami ?. Capek. Namun perasaan
kami ?. Senang. Senang karena di dalam rimbunnnya Hutan Turgo kami masih
menjumpai Anggrek berbunga. Salah satunya si cantik bernama Dendrobium mutabile.
Komentar
Posting Komentar