Malam itu saat matahari telah menyerahkan
kekuasaannya di bumi pada bulan dan bintang. Aku berlari menuju arahmu. Sedetik
kulihat kau terbujur memegang perut dengan segala macam “aduh” dan air mata yang keluar, kau menangis. Ya Allah,
benar-benar terjadi. Tapi kenapa harus di tempat ini, di tengah hutan di dasar
lembah, kenapa juga kau keras kepala untuk ikut.
Seperti bisa melihat kaki ini berlari menaiki tanah
berundak yang gelap dengan tanah basah yang baru sepintas lalu baru diguyur
hujan. Ada rumah warga di atas sana yang ku tahu pemiliknya mempunyai mobil.
Kau harus cepat sampai di Rumah Sakit. Sesaat jatuh terpeleset namun akhirnya
sampai juga di atas. Seperti preman saja aku malam itu, menggedor pintu dan
menanyai pemiliknya dengan senter “Pak,
ada teman kami yang sakit keras di bawah. Bapak bisa bantu kami membawanya ke
Jogja sekarang ? saya sewa mobil bapak”.
Kau terus mengaduh sementara tandu seperti
susah payah mengangkatmu ke atas, perjalanan dari bawah sepertinya panjang
karna memang badanmu yang tak kurus, gendut. Di atas, mobil telah menunggu dan
sebuah persitiwa lucu terjadi, dibutuhkan 15 menit untuk bisa memasukkanmu ke
dalam mobil^^. Maaf, bukan sengaja memperlama sakitmu, aku pun cemas luar biasa.
Bukan mengulur waktu namun kau sendiri yang serba susah dimasukkan ke mobil.
Mobil bergerak mengikuti jalanan bukit yang
gelap dan berkelok naik turun. “Pak, langsung saja ke Panti Rapih”. Perintahku
pada pemilik mobil. Perjalanan yang menegangkan, aku seperti membawa orang yang
hamil besar dan hendak melahirkan di daerah pedalaman. Mendengar tangismu dan
aduh mu sepanjang jalan hampir 1 jam, aku membayangkan seperti apa sakitnya. Namun
aku tak bisa bayangkan apa yang akan
terjadi denganmu nanti, apapun itu cuma ada satu keinginanku waktu itu : Jogja
dan Rumah Sakit. Ingin rasanya mobl bergerak seperi mesin jet namun mobil
seperti berjalan pelan hingga hingga dengan reflek ku gunting tali HP yang
masih berkalung di lehermu. Ibu kuhubungi dan sepintas kemudian kami sudah
bicara sementara kau masih kesakitan di kabin belakang.
Seorang paramedis bergegas keluar membawa
brankar menuju mobil di muka UGD. Kau dibawa ke ruang periksa sementara aku
menuju tempat suster. Sejenak kemudian aku baru tersadar melihat penampilanku
di ruangan yang terang ini, ternyata aku tak memakai alas kaki, celana panjang
pun belepotan lumpur, hingga ada suster bertanya : “habis kecelakaan mas?”.
Aku masuk menuju ruang periksa, ingin melihat
keadaanmu dan.....SIALAN, kau sudah bisa tertawa ternyata, tak mengerti
sementara aku dari tadi dikepung kecemasan.
Tiada kata apa-apa kecuali syukur dalam hati.
Aku di ruangan suster sekarang. Kami memperbincangkan beberapa hal, termasuk tindakan untukmu
selama 1 hari salah satunya kau dijadwalkan periksa USG esok hari. Jika kau
tahu bukan hanya aku dan suster di ruangan itu, tapi bertiga karna Ibu
sebenarnya juga ikut via telepon. Aku sengaja menelpon Ibu karena dialah yang
berhak menentukan segalanya nanti. “Rapat” antara aku, suster dan Ibu secara
bersamaan dilakukan dari 2 tempat berjauhan via telepon, seperti pejabat saja
kami ini. Aku masih sesekali tersenyum jika mengingat ini.
Akhirnya kau dipindahkan ke bangsal Elizabeth. 23.00
WIB.
Berulang kali setengah memaksamu tidur, aku
gagal. Meski ada 3 bed di bangsal itu, namun ternyata hanya ada satu pasien,
pasien istimewa yakni KAMU. Sebentar kemudian suster masuk, suster yang sudah
terlihat tua namun humoris, kau sendiri saksikan bagaimana aku sempat bercanda
dengannya dan mengucapkan selamat berlibur padanya. Iya, malam ini adalah tugas
terakhirnya sebelum suster itu libur, dan kamu adalah pasien terakhir yang dia
dapati masuk hari ini ke bangsalnya, itu yang dia ceritakan pada kita. Kau
ingat? Aku yakin kau lupa, lupa semuanya.
Kita sempat mencandai suster tua itu yang saat
mengantarkan segelas air putih untukmu. Saat itu dia bilang kau adalah pasien
istimewa karena mendapat bed paling bagus di kelas Elizabeth. Lalu suster itu
juga bilang kalau sesaat lagi dia akan berganti shift dan esok ia akan libur.
Mengantarnya keluar aku mengucap : “selamat berlibur ya, Sus..”. Dia tertawa,
mengucap terima kasih.
Ibu sms, menyuruhku memastikan suhu badanmu, tensimu,
kondisimu dan hal-hal lain tentang putri kesayangannya. Aku menuju ruang suster
dan menanyakan hasil pemeriksaan suhu dan tensimu. Di tempat itu juga aku harus
menandatangi beberapa lembar kertas, mau siapa lagi, tak ada keluargamu
sekarang.
Aku kembali ke bangsal, kau belum juga tidur.
Dalam cahaya lampu yang tak terang, aku bisa jelas memandangmu, melihatmu
merana aku sadar bukan aku lelaki yang seharusnya menemani mu saat sakit, bukan
aku yang kau inginkan di sini. Aku seperti lancang. Itu sebabnya tanpa
sepengetahuanmu aku keluar, mengeluarkan HP dari kantung celana yang kotor dan
menghubungi seseorang untuk bicara sejenak dengannya sebelum aku masuk dan
kuberikan telepon padamu : “Ada seorang laki-laki yang ingin bicara dengamu”.
Aku keluar dan membiarkanmu bicara dengannya. Demi Allah Non, aku tak mendengar
sedikitpun yang kalian bicarakan, kau tak perlu khawatir. Aku hanya merasa dia
lah orang yang lebih berhak banyak tahu tantang kondisimu, bukan aku.
Rumah Sakit. 1712009. 23.30. HP ku lowbatt.
00.05. Ganti hari. Dari kursi yang terletak
di tengah ruang bangsal, aku melihatmu terbaring di bed. Kau belum juga tidur. Aku
tak bisa apa-apa lagi.
Pagi beranjak. Hari berganti siang. Aku
merasakan sebentar mendorongmu dengan kursi roda itu. Kau menjalani pemeriksaan
USG, diantar seorang suster kita menuju ruang periksa. Perjalanan dari bangsal
menuju ruang periksa, bolak-balik ternyata jauh juga dan kau seperti merasa
nyaman saja duduk di kursi roda itu. Pintu ditutup. Selama pemeriksaanmu aku
hanya bisa di luar, di depan pintu sambil mondar-mandir, sesekali bersandar di
tembok untuk kemudian duduk namun tak lama kemudian kembali berjalan maju mundur
menunggu pemeriksaan selesai.
20.00. Bu De menelpon dan dia menunggu di
luar. Dia minta aku keluar karena dia tak bisa masuk. Aku baru ingat, ternyata
hanya orang yang dibekali kartu tunggu yang bisa bebas keluar masuk. Aku sudah
menjemput Bu De di depan UGD lalu mengajaknya masuk. Kalian bertemu dan waktu
telah sepenuhnya menjadi milikmu dan Bu De, obrolan antar wanita selalu sukses
mengabaikan keberadaan laki-laki.
21.15. Sebuah panggilan masuk, ternyata Ibu
sudah sampai di Jogja, di depan UGD malah. Aku keluar menjemput nya. Banyak orang di luar UGD sana tapi Ibu sepertinya langsung bisa mengenaliku. Aku
jadi yakin tak salah orang dan saat menghampirinya aku setengah kaget. Ternyata
Ibu & Bapak membawa beberapa keluargamu termasuk eyang putrimu yang
wajahnya sulit dibedakan dari Ibu. Perjalanan dari luar menuju bangsal ada
beberapa yang ibu tanyakan tentang detail kejadian malam kemarin. Aku sih
bicara saja sekenanya yang ku tahu, agak sedikit sok tahu. Kenyataannya memang aku tak pernah tahu apa-apa tentangmu.
Kini aku menyaksikan pertemuan mengharukan
seorang ibu dan putri kesayangannya. Dari balik punggung aku tersenyum melihat adegan itu. Aku tak suka sinetron, dan aku tahu ini lebih mengharukan dibanding film sekalipun. Namun tak lama, tak lebih dari semenit
saat aku memutuskan keluar kamar dan membiarkanmu dan keluargamu heboh sendiri.
Aku merasa makin salah dengan keberadaanku. Pertama, bukan aku lelaki yang
seharusnya ada di sini. Kedua, sudah banyak keluargamu sedari siang
berdatangan, aku seperti menyaksikan arisan keluarga, mati gaya.
Ibu memanggilku dan meminta diantar ke loket
administrasi. Semua akan diselesaikan malam ini. Kau akan dibawa pulang dan
segala tindakan medis termasuk operasi akan dilakukan di kotamu.
22. 45. Dengan kursi roda kau dibawa keluar
menuju mobil. Aku, sengaja berjalan cepat di depanmu, jauh di depanmu.
Dan gerimis malam itu mengakhiri peranku sebagai pemeran pengganti. Bagianku sudah selesai. Aku, pada akhirnya hanya kebetulan lewat saja. Aku juga tahu menjadi pemeran pengganti tak pernah membanggakan. Tapi jangan khawatir, aku tahu diri. Jangan resah aku akan datang untuk bertanya apa yang sebenarnya boleh kutanyakan.
Dan gerimis malam itu mengakhiri peranku sebagai pemeran pengganti. Bagianku sudah selesai. Aku, pada akhirnya hanya kebetulan lewat saja. Aku juga tahu menjadi pemeran pengganti tak pernah membanggakan. Tapi jangan khawatir, aku tahu diri. Jangan resah aku akan datang untuk bertanya apa yang sebenarnya boleh kutanyakan.
Dan aku tak menyalahkan keadaan kecuali memang keterbatasanku saja. Pertanyaan-pertanyaan yang pernah kukumpulkan kini tak penting lagi. Seusia kita sudah tak jamannya lagi menyalahkan "mengapa", atau mempermasalahkan "bagaimana".
Kau sudah melewatkan Ramadhan 2 tahun lalu di bed pesakitan, semoga itu cukup memuaskan hingga tak perlu berulang. Semoga Allah senantiasa merahmati dan melindungimu, keluargamu serta seluruh keturunanmu di kemudian hari, hingga nanti semua akan mampu menjalani kehidupan sesuai bagiannya masing-masing di jalan yang telah ditentukan.
Di manapun berada kini, maafkan saya.
Komentar
Posting Komentar